Sejarah UAV (2)

1916-1944

Pada tahun 1916, kurang dari 15 tahun setelah penerbangan historis Wright bersaudara, pesawat tak berawak modern pertama ditunjukkan. Itu adalah Pesawat Udara Otomatis Hewitt-Sperry, dinamai sesuai dengan dua penemu yang merancangnya. Pesawat ini tidak bisa menjadi kenyataan tanpa karya Sperry sebelumnya pada perangkat gyroscopic yang dibutuhkan untuk memberikan stabilisasi penerbangan. Sperry berhasil menarik minat Angkatan Laut AS yang menghasilkan pengembangan Torpedo Curtiss-Sperry Aerial, sementara pada saat bersamaan Angkatan Udara AS mensponsori Liberty Eagle Aerial Torpedo dari Charles Kettering ditunjukkan pada Gambar 4 [1]. Karena masalah teknis dan kurangnya akurasi, ketertarikan pada pesawat “otomatis” hilang namun potensi penggunaan pesawat tak berawak jarak jauh untuk latihan target segera disadari.

Gambar 4. Liberty Eagle Aerial Torpedo yang dibuat oleh Charles Kettering

Di Inggris, percobaan dengan pesawat tak berawak berlangsung sepanjang tahun 1920an yang ditargetkan oleh RAE selesai tahun 1921. Pada tahun 1933, Angkatan Laut Kerajaan menggunakan Queen Bee sebagai target drone (Gambar 5) untuk pertama kalinya [2]. Itu adalah versi modifikasi dari biplan DeHavilland Tiger Moth dan berhasil digunakan untuk latihan meriam.

Gambar 5. Queen Bee target drone

Operasi jarak jauh memerlukan kesempurnaan kontrol radio, sebuah konsep yang diusulkan pada tahun 1895 dan 1898, masing-masing oleh Tesla [2]. Sekali lagi industri swasta dapat memacu perkembangan, ketika aktor Reginald Denny membuka “Reginald Denny Hobby Shops” pada tahun 1934 dan mulai menjual pesawat yang dikendalikan oleh radio. Beberapa tahun kemudian dia mendemonstrasikan karyanya untuk Angkatan Darat AS yang mengarah pada pengembangan target drone yang sangat sukses yang digunakan secara ekstensif selama Perang Dunia II.

UAV yang digunakan pada Perang Dingin

Segera setelah berakhirnya PDII, ketertarikan pada misi pengintaian meningkat. Penerus dari target drone Reginald Denny menjadi basis dari pesawat tak berawak pertama, SD-1 [2]. SD-1 ini dikenal juga sebagai Falconer MQM-57 yang dikembangkan pada pertengahan tahun 1950an dan pada akhir masa terbangnya telah dibuat 1.500 pesawat [3]. SD-1 (Gambar 6) dioperasikan dari jarak jauh, membawa kamera dan setelah penerbangan 30 menit kembali ke markas dan mendarat (landing) dengan menggunakan parasut [4].

Gambar 6. SD-1 yang juga dikenal sebagai MQM-57 Falconer merupakan drone pengintai pertama yang digunakan oleh US Army dan digunakan gingga tahun 1970-an

Hilangnya pesawat mata-mata U-2 di Uni Soviet pada tahun 1960 memberi dorongan baru terhadap pesawat pengintai tak berawak dan hilangnya U-2 kedua di Kuba dua tahun kemudian membantu mengatasi keraguan dan masalah pendanaan [4]. USAF mendukung drone Ryan Model 147 yang berkembang menjadi serangkaian model dengan kemampuan berbeda. Dua variasi dari lebih dari dua lusin yang tersedia, ditunjukkan pada Gambar. 7 dan 8. Mereka juga didasarkan pada desain pesawat tak berawak dan digunakan oleh AS untuk melakukan pengintaian terhadap China, Vietnam dan negara-negara lain pada tahun 1960-an dan 70-an [2, 4]. Selama waktu ini, hampir 3.500 Lightning Bugs diluncurkan dan sekitar 84% dapat kembali ke pangkalan[5]. Perlu dicatat bahwa pesawat tak berawak ini dapat disebut “kills” ketika para pejuang mencoba menembak mereka dan pesawat tak berawak dapat diberi status “ace setelah dapat menembak lima buah pesawat MIG Vietnam Utara [4].

Model Ryan 147, yang kemudian dikenal sebagai Lightning Bug mungkin adalah pesawat tak berawak pertama yang sesuai dengan definisi UA saat ini. Sebenarnya, versi modern dari pesawat tak berawak ini masih dibangun dan digunakan untuk menjalankan misi sampai hari ini.

Gambar 7. AQM-34Q salah satu jenis varian Ryan Model 147 yang digunakan sebagai drone pengintai dan beroperasi pada tahun 1960an hingga 1970an

Gambar 8. BGM-34C merupakan jenis dari Ryan Model 147. Drone ini merupakan drone multifungsi yang dapat digunakan untuk pengintaian dan penyerangan

Sementara itu, Angkatan Laut AS memperoleh sebuah helikopter drone dari Perusahaan Gyrodine yang disebut QH-50 DASH (Gambar 9) [4]. Desain ini lebih disukai karena bisa diluncurkan dari kapal yang lebih kecil. Misi utamanya adalah meluncurkan torpedo anti kapal selam,selain itu juga dapat digunakan untuk pengawasan, transportasi kargo dan aplikasi lainnya. Akan tetapi helikopter ini mempunyai masalah keandalan dengan sistem kelistrikannya yang menyebabkan sejumlah besar kerugian masa damai [4].

Gambar 9 QH-50 DASH merupakan drone berbentuk helikopter yang dipersenjatai dengan torpedo. Diperasikan pada kapal perang USS Hazelwood

Pada akhir 1960-an, CIA terlibat dalam pesawat pengintai jarak jauh hypersonik, yang dirancang untuk diluncurkan dari pesawat “induk” lainnya. Program D-21 Tagboard (Gambar 10) dilanda masalah teknis, beberapa kecelakaan dan misi yang gagal yang menyebabkan pembatalannya pada awal tahun 1970-an [4].

Gambar 10 Pesawat Hipersonik Lockheed D-21B Tagboard

Sejalan dengan usaha AS, Angkatan Udara Soviet mengembangkan pesawat pengintainya sendiri. Sistem pertama adalah TBR-1 yang dibuat berdasarkan target drone tak berawak dan segera diikuti oleh DBR-1 (Gambar 11) yang memungkinkan jangkauan dan kemampuan yang lebih tinggi [4]. DBR-1 tidak dirancang untuk dapat dilakukan recovery secara penuh, ketika mencapai area recovery, pesawat ini membuang bahan bakar, mengeluarkan bagian hidungnya yang berisi paket sensor dan mengganti sisa badan pesawat yang rusak. Akibatnya, DBR-1 memerlukan biaya operasional yang tinggi yang menyebabkan pesawat ini diganti pada pertengahan tahun 1970 oleh Tu-141/143 (Gambar 12), sebuah pesawat tak berawak jarak pendek dan menengah yang dilengkapi dengan Parasut untuk recovery.

Gambar 11 DBR-1 yang juga dikenal sebagai Tupolev Tu-123 Yastreb

Gambar 12 Tupolev Tu-143 Reys merupakan Drone Pengintai dengan launcher SPU-143 di Museum Angkatan Udara Ukraina

Di Eropa, pilihan sistem tak berawak pada waktu itu didanai oleh Kanada dan Inggris dan dikembangkan oleh Canadair [4]. CL-89 Midge (Gambar 13) juga digunakan oleh tentara Prancis dan Jerman. Pesawat ini dirancang untuk mengambil foto (siang atau malam) dan mendarat dengan menggunakan parasut [4]. Versi yang lebih canggih, CL-289, mempunyai kemampuan untuk terbang dengan jarak yang lebih baik dikembangkan pada akhir 1970an dengan pendanaan utama dari Jerman [4].

Gambar 13 Pesawat pengintai Jerman CL-289

Pengembangan di bidang pesawat tak berawak selain negara yang disebutkan diatas adalah Angkatan Udara Israel, yang mengakuisisi dan mengoperasikan skuadron pesawat tak berawak Amerika untuk tujuan pengintaian selama Perang Yom Kippur [4]. Kemudian Industri Pesawat Udara Israel dan Tadiran mengembangkan pesawat mereka sendiri, yaitu Scout (Gambar 14) dan Mastiff [4]. Mastiff adalah basis dari sistem Pioneer yang sangat populer dan desain dari Israel juga mempengaruhi pengembangan Predator dan Shadow UAS [2].

Gambar 14 UAS Scout yang merupakan produk dari Industri Pesawat Udara Israel. UAV ini mempunyai kesamaan dengan UAS Pioneer yang kemudian digunakan oleh US Army.

 

Bersambung ke bagian 3 (https://pustekhan.itb.ac.id/2017/08/10/sejarah-uav-3/)

 

 

 

 

 

Referensi :

[1] Zaloga SJ (2008) Unmanned Aerial Vehicles: Robotic Air Warfare 1917–2007. No. 144 in New Vanguard, Osprey Publishing Ltd.

[2] Newcome L (2004) Unmanned Aviation: A brief history of UAV’s. American Institute of Aeronautics and Astronautics

[3] National Museum of the USAF (2009) Radioplane/northrop MQM-57 falconer factsheet. [online] http://www.nationalmuseum.af.mil/factsheets/factsheet.asp?id=7684, retrieved Oct 2009

[4] Zaloga SJ (2008) Unmanned Aerial Vehicles: Robotic Air Warfare 1917–2007. No. 144 in New Vanguard, Osprey Publishing Ltd.

[5] Wagner W (1982) Lightning Bugs and Other Reconnaissance Drones. Aero Publishers

 

4 thoughts on “Sejarah UAV (2)”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *